5812 Miles Dream




Berlariku dalam angan
Terbayang mimpi dalam khayalan 
Terbuai oleh indahnya senyuman
Akan kukejar asaku dalam genggaman

Satu mimpi sejuta harapan
Terbingkai indah dalam lukisan
Terangkum penuh impian
Terhampar luas bagai lautan

Terus berjuang...
Walau jalan terhalang
Walau pohon tumbang
Tak ada ragu, tak ada bimbang
Tak ingin hilang dan selalu dikenang
Akan kuraih mimpiku yang sempat terbuang 

  Namaku Alieva. Aku seorang gadis biasa yang terlahir dari sebuah keluarga sederhana namun penuh ambisi. Aku memiliki berjuta-juta alasan untuk menggenapi rupa-rupa imajinasiku. Pun aku punya berbagai macam cara untuk berusaha mengamini setiap asaku.
       Perjalanan hidupku berawal dari sebagaimana biasanya manusia itu hidup. Lahir dari rahim seorang ibu, lalu mulai mendapatkan kasih sayang dan sedikit demi sedikit bertumbuh menjadi seorang manusia yang memiliki kepribadiannya sendiri. Kemudian kita mulai menentukan pilihan kita , mulai berputar dalam perilaku baik dan buruk, mulai terbingungkan oleh realita dan idealism, mulai tidak mengerti, mulai menyerah, lalu mulai tercerahkan lagi. Sungguh banyak hal yang kita alami, bukan? Apapun yang kita alami, bagaimanapun kehidupan kita, yang harus kita lakukan adalah tetap berjalan, terus berjalan hingga sampailah aku pada titik ini. 
       Pertama-tama, izinkan aku mengucap syukur pada Zat Pemilik Rindu yang mana telah memberiku bidadari terindah sepanjang hidupku, ia kusebut dengan ibu. Darinya, aku belajar dan mengerti bahwa hidup itu bukan hanya tentang melihat ke depan tapi juga tentang bagaimana kita menikmati setiap prosesnya dan bisa lulus naik kelas. Sebelum keluar dari Madrasah Aliyah, entah sudah kali ke berapa ia menyarankanku untuk mengambil program tahfidzul Qur’an sebelum masuk jenjang perkuliahan. Itu artinya aku harus menunggu dan memendam keinginanku sementara untuk menjadi mahasiswa di sebuah universitas. Aku mengiyakan pintanya meski kupikir itu tidak mudah bagi anak remaja seusiaku pada waktu itu. Disaat semua teman-temanku sibuk mendaftar di berbagai macam universitas aku hanya bisa diam memerhatikan dan menyemangati mereka tentunya. Namun, sekuat apapun aku menahan rasa minder dalam diri dan aku berpikir apapun yang membuat Mami senang akan kulakukan. 
       Setelah kelulusan tiba, aku bertolak diri ke tempat tahfidz yang sudah menjadi rencana kami sejak awal, tapi setelah sekian banyak drama yang semakin mengajariku arti hidup, aku beralih ke tempat tahfidz yang berbeda. Disanalah aku bertemu dengan orang-orang hebat. Orang-orang luar biasa yang tak mengenal kata lelah. Seiring berjalannya waktu aku jatuh hati pada sesosok insan penuh semangat dan terobosan baru. Ia selalu punya ide-ide brilian yang -menurutku- bisa menghipnotis orang yang diajak bicara olehnya. Salam cinta untuk Fadhilatul Ustadzatina Dr. Sarmini atas ilmu tak terhingga dan motivasi terbaiknya, yang mana telah mengantarkan aku sampai sejauh ini. Sekali lagi, Jazakillah Ahsanal Jaza’.
       Beliau adalah direktur Markaz Qur’an Utrujah, tempat dimana aku belajar hingga mencintai Al Qur’an sedemikian rupa. Beliau lulusan Magister di Khartoum Internasional Institute for teaching Arabic for non Arab dan program doktor di Internasional University of Africa. Dari sekian banyak kisah yang beliau ceritakan pada kami, ada beberapa sisi unik dari Sudan yang membuatku tertarik untuk melanjutkan studi ke negeri dua nil itu. Beliau berujar, ibarat Pulau Jawa, Solo memiliki bahasa Jawa halusnya. Demikian juga Sudan yang memiliki bahasa Arab paling halus diantara sekian banyak negeri di seantero Timur Tengah. Pun mengapa beliau begitu terkesan dengan Sudan? Karena disanalah beliau mendapati masyarakat yang ramah dan menghargai perempuan. Disana tak ada yang pengotak-kotakkan si miskin dan si kaya. Antara sopir, buruh, pejabat, dan yang lainnya semua sama. Penduduk Sudan sungguh tawadu. Belum lagi kondisi geografis Sudan yang sangat panas karena bumi Sudan terdiri atas hamparan padang pasir yang gersang. Cuaca panas di Sudan bisa mencapai 50 derajat Celsius. Harga kebutuhan pokok akibat embargo ekonomi pun melambung tinggi. Intinya semua serba susah. Bahkan, sarana transfer uang saja belum tersedia di kala itu. Ditambah, hampir tak ada tempat rekreasi yang memadai. Namun, itulah sisi unik Sudan. Beliau jadi mengambil sisi positifnya yakni dari sekian banyak kekurangan itu justru membuat beliau semakin fokus untuk belajar saja sehingga jadi cepat selesai. Indah sekali bukan? 
       Akhirnya, setelah beberapa kali meyakinkan hati dan menyiapkan mental kuputuskan juga untuk mulai mengikuti jejak beliau. Belum genap dua tahun setelah aku merampungkan masa belajarku di utrujah, aku segera mencari link untuk bisa berangkat ke Sudan. Tepat di pertengahan tahun 2018 aku ikut mendaftar di salah satu mediator keberangkatan mahasiswa Indonesia ke Sudan dengan jalur beasiswa tanpa tes. Meski tanpa tes, mereka tetap meminta berkas-berkas seperti ijazah SMA dan sebagainya untuk syarat mendaftar. Dan istimewanya lagi, mediator itu menempatkan berkasku di golongan prioritas. Dengan segala harap aku menunggu hasil tes sambil mengabdikan diri pada lembaga. Hingga beberapa bulan setelahnya, aku mendapat kabar bahwa Allah belum mengizinkanku ke Sudan. Hal itu disebabkan karena usia ijazahku yang lebih dari satu tahun. Padahal di pendaftaran Sudan tahun sebelumnya kakak kelasku lolos lewat mediator yang sama meski ijazahnya sudah lebih dari satu tahun. Sontak aku kecewa dan merasa bahwa dunia ini tak adil. Saat itu juga aku merasa terlalu banyak berharap pada keadaan yang benar-benar sama seperti apa yang aku harapkan. Dan aku lupa bahwasanya dari situasi yang menyesakkan itu aku bisa belajar begitu banyak hal. 
       Kembali aku bersyukur pada Allah yang telah mengirimiku seorang malaikat tanpa sayap di saat-saat terpurukku. Mami menguatkanku dan terus memotivasiku agar aku bisa menerima semua keadaan yang telah Allah takdirkan ini. Akhirnya aku tersadar untuk terus melangkah dan tidak menyerah. Kucoba lagi mencari link untuk berangkat ke Sudan dengan jalur reguler alias tanpa beasiswa. Namun, sampai detik ini hanya iming-iming informasi saja yang kuterima. Padahal sudah kukatakan jika aku akan menyanggupi segala biaya yang harus ditanggung nantinya namun tak ada satu pun konfirmasi yang datang. Hingga tibalah aku di akhir tahun 2018 dan aku belum juga mendaftar sebagai mahasiswa di kampus mana pun. Itu artinya sudah genap dua tahun usia ijazah SMA-ku. Aku khawatir jika nanti tak ada lagi kampus yang mau menerimaku. 
       Lagi-lagi aku belum menyerah juga. Kutepis segala kekhawatiranku dan aku kembali mencari-cari cara untuk bisa sampai ke negeri yang memiliki jarak 5812 mil dari Indonesia itu. Entah untuk kuliah atau hanya sekedar belajar jangka pendek aku tetap berambisi untuk bisa pergi kesana. Akhirnya aku mendengar kabar bahwa Sudan akan membuka pendaftaran di awal tahun 2019, tepatnya di bulan Februari. Kutelusuri lagi ternyata pengajuan visa untuk berangkat kesana tidak mudah. Tidak mudah disini berarti benar-benar sulit mengingat Sudan sedang diembargo oleh beberapa negara lainnya. Meski begitu, tekadku tetap bulat. Aku harus ke Sudan. Bagaimanapun juga aku harus kesana meski aku harus menunggu sampai waktunya tiba.
       Di bulan November 2018, sambil menunggu pendaftaran selanjutnya kuputuskan untuk mengambil kelas bahasa arab sementara di Mesir. Selain karena pengajuan visa Mesir yang tidak seribet Sudan, ada cabang lembaga Utrujah yang membuka kelas pengambilan sanad hafalan disana. Dan setelah beberapa bulan tinggal di Mesir aku sungguh merasakan kenyamanan berada disana. Ilmu-ilmu berserakan juga kemudahan untuk mengais ilmu ada di banyak tempat. Belum lagi aku mendengar kabar di bulan Februari 2019 bahwa Sudan belum bisa membuka pendaftaran kembali dikarenakan ada konflik baru di bagian Sudan Selatan. Hal itu membuatku berpikir dua kali untuk tetap melanjutkan studi di Sudan dan mempertimbangkan saran teman-teman untuk bertahan di Mesir saja. Toh, pendaftaran universitas Al Azhar akan dibuka sebentar lagi. Itu ujar mereka.
       Setelah menimbang-nimbang dan berdiskusi dengan Mudiroh Utrujah akhirnya muncullah keputusan untuk mencoba mendaftar di Cairo University. Dan dengan mudahnya aku melupakan impianku untuk pergi ke Sudan dengan alasan aku sudah cukup nyaman dan bisa beradaptasi dengan baik selama di Mesir. Tambah lagi, Utrujah memberiku amanah untuk menjadi Musyrifah cabang lembaga kedua di Mesir yang terletak di Cairo seperti impianku selama ini. 
       Beberapa minggu kemudian, Mudiroh Utrujah kembali mengabariku bahwa ada salah satu mediator baru di Indonesia yang membuka pendaftaran mahasiswa Indonesia ke Sudan dan beliau menawariku untuk mengikuti peluang ini. Lantas saja aku bimbang dan dilema harus ambil peluang ini atau tidak. Belum lagi aku harus pulang ke Indonesia untuk mengikuti ujian masuk ke kampusnya sedangkan masa belajarku di Mesir baru seperempat jalan dari estimasi pembelajaran. Makin dilema lagi ketika aku tahu bahwa satu hari setelah kudengar kabar itu adalah hari terakhir untuk mendaftar dan sisa kuota memang tinggal satu orang. Yaa Rabbi, betapa bingung dan dilemanya aku saat itu. Bahkan setelah istikharah pun belum ada awang-awang sama sekali tentang ambil peluang atau tidaknya.
       Namun, Allah, Sang Pemberi Segala keputusan menggerakkan qalbuku dan meyakinkanku. Naluriku juga mengingatkanku akan tujuan dan impian pertamaku selama ini. Akan indahnya Sudan dan segala keberkahan didalamnya. Dan aku pikir, Mesir terlalu membuatku nyaman hingga aku berat hati untuk melepasnya dan bimbang untuk kembali pada dambaan awalku, yaitu Sudan. Tapi sekali lagi, hati kecilku berbisik bahwa aku harus keluar dari zona nyaman dan beralih ke zona yang penuh perjuangan. Artinya aku tetap harus mengejar mimpiku. Mimpi yang jauhnya 5812 mil dari negeriku.
       Bismillah, I’m in to you, Sudan.

Cairo, 4 Mei 2019 14:47
Alieva Najla Naely

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah muslimah yang terjebak rayuan syaitan

No 'Galau'-ing for Muslimah

Quote Cantik tentang Wanita